Nyaman Stop BABS (Buang Air Besar Sembarangan) di Balik Kocokan Arisan "IBU"

Untitled

Kecamatan Bakam merupakan salah satu dari delapan Kecamatan di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang luas wilayahnya  48,10 km2, sedangkan jumlah penduduknya 16.650 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 34 Jiwa/km2. Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Bakam merupakan tingkat kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Bangka. Untuk mencapai Kecamatan ini dari Kota Sungailiat (Ibu Kota Kabupaten Bangka) membutuhkan jarak tempuh hingga 38 km ke Ibu Kota Kecamatan Bakam.

Desa Kapuk merupakan desa yang terletak diujung Kecamatan Bakam dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Bangka Barat. Desa ini memiliki luas wilayah sekitar 27,30 km2 dengan jumlah penduduk (2011) sebanyak 1209 Jiwa, atau setara dengan 307 KK  (Kepala Keluarga). Mayoritas masyarakat di desa Kapuk beragama Islam, dengan penghasilan utama masyarakat bersumber dari tambang timah rakyat (Tambang Inkonvensional) dan sektor perkebunanan seperti lada, karet dan sawit. Di Desa Kapuk tingkat pendidikannya masih rendah, hanya 78,99% masyarakatnya, masih berpendidikan <SLTP/sederajat.

Berdasarkan hasil laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka hingga Juni (2011),  Desa Kapuk termasuk desa endemis diare dan malaria. Data pada bulan Maret menunjukkan di daerah tersebut terdapat kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Diare. Seperti yang kita tau bahawa, kejadian diare ini sangat erat hubungannya dengan kondisi cakupan jamban masyarakat di desa Kapuk, yang hanya 33,02%, dan desa kapuk merupakan desa dengan cakupan jamban terendah di Kabupaten Bangka. Cakupan ini masih jauh dibawah target nasional yaitu 80%.

Sanitasi lingkungan merupakan salah satu fokus pembangunan kesehatan sebagaimana tercantum dalam indikator MDG’s poin 7C yaitu menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi dasar sampai dengan tahun 2015. Untuk mencapai target MDGs tahun 2015, bila membandingkan target dan cakupan jamban di desa Kapuk, maka cakupan jamban minimal yang harus ditingkatkan sebesar 33,49% untuk mencapai cakupan jamban di desa Kapuk minimal 66,51% pada tahun 2015.

Di sisi lain, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) target Pemerintah yaitu pada tahun 2014 semua masyarakat (100%) tidak ada lagi yang buang air besar di sembarangan tempat. Untuk mencapai target dalam RPJMN maka hingga tahun 2014 cakupan jamban di desa Kapuk yang harus ditambah sebanyak 66,98%.

Kelompok yang paling dirugikan dengan adanya perilaku buang air besar disembarang tempat adalah kelompok perempuan dan anak-anak. Selain ancaman penyakit yang bersumber dan atau ditularkan oleh tinja secara langsung seperti diare, disentri, typoid, bahkan polio, atau ancaman penyakit secara tidak langsung akibat dari BABS (Buang Air Besar Sembarangan) saat BABS di hutan, sungai dan tempat-tempat tidak seharusnya besar risikonya untuk digigit nyamuk vektor penyakit seperti malaria, Filariasis (kaki gajah), DBD dan lain-lain. Selain itu ada Ancaman lainnya dari perilaku BABS tersebut seperti digigit ular, kalajengking sampai dengan ancaman dosa karena membuka aurat di tempat tidak selayaknya menimbulkan ancaman kejadian pemerkosaan saat melakukan BABS. Sektor privacy perempuan sangat dirugikan, demikian juga pada anak-anak saat BABS akan berisiko juga untuk mendapat perlakuan yang tidak selayaknya seperti pencabulan dan sebagainya.

Untuk mengatasi permasalah tersebut, maka pihak Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan menyusun strategi untuk mengatasi permasalahan jamban di desa Kapuk dengan menerapkan metode Community Lead Total Sanitations (CLTS) yaitu merupakan strategi pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan menyeluruh dengan memfasilitasi masyarakat dalam menganalisis kondisi sanitasi mereka, perilaku buang air besar mereka dan konsekuensi dari hal-hal tersebut, dan pada akhirnya bertujuan untuk mencapai status ODF (Open Defecations Free) atau Stop Buang Air Besar Sembarangan.

Metode CLTS yang diterapkan adalah metode CLTS terintegrasi antara Dinas Kesehatan, Puskesmas Bakam, Kecamatan Bakam serta Forum Komunikasi Kecamatan Sehat dan Pokja Desa Sehat. Dengan kepiawaian fasilitator saat pemicuan CLTS, dengan memancing sumber daya yang ada di masyarakat sehingga muncullah inovasi "ARISAN JAMBAN SEDERHANA" oleh masyarakat.

Pendekatan strategis diawali dengan kegiatan pemicuan CLTS di Desa Kapuk, karena keberhasilan program akan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat untuk merubah perilaku BABS ke perilaku BAB ke jamban. Komitmen dan niat kuat masyarakat harus benar-benar telah terbentuk yang nantinya akan mendorong tindakan mereka untuk menyediakan sarana prasarana pendukung perubahan perilakunya. Untuk membentuk komitmen tersebut dapat dengan melakukan tahap-tahap pemicuan CLTS berikut:

1.Pembentukan tim terintegrasi

Pembentukan tim terintegrasi sangat penting dilakukan. Salah satu tahap penentu keberhasilan program berada pada tahap ini. Tim terdiri dari seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan, Sanitarian dan Kepala Puskesmas Bakam, Camat Bakam, Kasie Kesra Kecamatan Bakam, Ketua Forum Komunikasi Kecamatan Bakam, Kepala Desa Kapuk dan Ketua Pokja Desa Sehat. Setiap unsur yang tergabung didalam Tim telah mendapatkan pelatihan CLTS dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka yang telah dilaksanakan tahun sebelumnya. Unsur-unsur didalam tim sudah melakukan perannya sesuai tupoksi masing-masing sehingga dapat saling menguatkan sampai terbentuk keinginan kuat untuk berubah perilaku dari BABS ke perilaku BAB ke jamban.

 2. Identifikasi masalah dan pemetaan keadaan sanitasi

Identifikasi masalah diawali dengan mengumpulkan masyarakat yang tidak memiliki jamban dan perwakilan masyarakat yang telah memiliki dan buang air besar di jamban. Kemudian fasilitator memfasilitasi masyarakat untuk memetakan kondisi sanitasi mereka. Fasilitasi pemetaan dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat seperti ranting, daun, sagu dan lain-lain yang digunakan untuk simbol jamban dan lokasi buang air besar sembarangan. Peta digambarkan di tanah kemudian disalin ke kertas flip cart untuk didokumentasikan sebagai kondisi awal pra pemicuan dan sebagai alat monitoring pasca triggering. (Dokumentasi terdapat dalam lampiran). Dari hasil pemetaan, selanjutnya masyarakat difasilitasi untuk menghitung jumlah tinja yang dihasilkan masyarakat per hari, per bulan dan per tahun. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran besarnya tingkat pencemaran lingkungan, besarnya risiko sakit masyarakat yang disebabkan oleh tinja setiap harinya.

3.   Transeck Walk dan Focus group discussion (FGD).

Transeck walk dilakukan bersama masyarakat untuk mengexplore pelaku open defecation. Transeck Walk bertujuan untuk melihat dan mengetahui tempat yang paling sering  dijadikan tempat BAB. Dengan mengajak masyarakat berjalan ke sana dan berdiskusi di tempat tersebut, diharapkan masyarakat akan merasa jijik dan bagi orang yang biasa BAB di tempat tersebut diharapkan akan terpicu rasa malunya. Kegiatan pemicuan selanjutnya dengan memfasilitasi masyarakat untuk melihat bagaimana proses tinja mereka mencemari sumber air minum, dihinggapi lalat yang selanjutnya dapat menyebabkan manusia sakit. Ancaman penyakit-penyakit yang bersumber dan atau ditularkan oleh tinja secara langsung seperti diare, disentri, typoid, bahkan polio, atau ancaman penyakit secara tidak langsung akibat dari BABS (saat BABS di hutan, sungai dan tempat-tempat tidak seharusnya besar risiko untuk digigit nyamuk vektor penyakit) seperti penyakit malaria, Filariasis (kaki gajah), Demam berdarah dan lain-lain, ancaman berikutnya yaitu seperti digigit ular, kalajengking dll, ancaman dosa karena membuka aurat di tempat tidak selayaknya bahkan ancaman  diperkosa saat melakukan BABS. Sektor privacy perempuan sangat dirugikan, demikian juga pada anak-anak saat BABS akan berisiko juga untuk mendapat perlakuan yang tidak selayaknya seperti pencabulan dan sebagainya.

 4.Inovasi pemecahan masalah

Kemiskinan sering dijadikan alasan masyarakat untuk tidak memiliki jamban, karena sepengetahuan mereka biaya untuk membuat satu unit jamban membutuhkan biaya hingga Rp. 3.000.000,-. Kepiawaian seorang pemicu CLTS sangat teruji disini, karena harus mampu memancing kemampuan berpikir masyarakat bahwa untuk membangun satu unit jamban ternyata terdapat opsi-opsi biaya yang dapat dipilih. Mulai dari yang tanpa biaya yakni hanya dengan menggali lubang, menutup dengan bambu atau kayu. (karena output utama yang diharapkan adalah perubahan perilaku awal, belum ke jamban sehat)

Selanjutnya fasilitator mengenalkan kepada masyarakat tentang keberadaan SENTRA PRODUKSI SANITASI yang telah dibentuk Dinas Kesehatan bertempat di desa Puding Besar. Lokasi sentra produksi tersebut dapat dijangkau dalam 15 menit dari desa Kapuk. Di sentra produksi ini menjual kloset dari semen dengan harga murah yaitu Rp. 50.000,-  dan slab (tempat mendudukan closet) seharga Rp. 100.000,- sehingga dengan dana Rp. 150.000,- masyarakat sudah dapat memiliki jamban.

Sebagian masyarakat dapat dengan mudah menyediakan dana Rp. 150.000,- namun bagi masyarakat yang tergolong miskin uang sejumlah Rp. 150.000; masih terasa berat. Masyarakat yang miskin ini mayoritas bekerja sebagai buruh harian baik di sektor tambang rakyat maupun di sektor perkebunan. Sehingga muncul inovasi dari ibu-ibu yang sudah terbiasa arisan untuk melakukan arisan jamban sederhana. Ide cemerlang ini segera disambut baik oleh ibu-ibu yang lain sehingga langsung dibuat kelompok-kelompok arisan per kelompok 20 orang dengan iuran yang sangat ringan yaitu Rp. 15.000/orang/minggu, pembayaran setiap hari sabtu langsung dilanjutkan dengan kegiatan pembangunan jamban secara bergotong-royong. Dengan rincian biaya per jamban yang dibutuhkan sebagai berikut:

  1. Slab                      : Rp. 70.000,-
  2. Closet                  : Rp. 50.000,-
  3. Semen ½ sak   : Rp. 30.000,-
  4. Pasir                    : gotong royong
  5. Penahan tanah dalam lobang menggunakan bambu, kayu atau drum bekas tambang timah.

Sehingga total biaya yang dibutuhkan sebesar RP. 150.000/jamban. Kesepakatan dari masyarakat jika ada masyarakat yang tidak bersedia menggunakan slab dana Rp.70.000 dibelikan semen dan kebutuhan lainnya untuk membuat dudukan closet. Closet ada yang dipesan ke sentra produksi sanitasi berupa closet semen atau dengan membeli kloset keramik sederhana seharga Rp. 50.000,- di toko bangunan yang telah menjadi mitra dalam kegiatan ini sehingga harga dapat ditekan seminimal mungkin Untuk rumah jamban diserahkan kepada kemandirian penduduk masing-masing, yang mampu dapat dibuat secara permanen sedang yang tidak mampu untuk sementara boleh menggunakan karung bekas, papan, bambu, plastik dan lain-lain. Sistem cubluk sederhana ini minimal telah memenuhi syarat MDGs yaitu tinja tidak mengkontaminasi badan air dan tidak dibuang sembarangan.

Kocokan arisan mengeluarkan 2 orang/minggu/kelompok arisan. Jumlah kelompok arisan 3 kelompok sehingga penambahan cakupan jamban sederhana di desa Kapuk dari arisan sebanyak 6 buah jamban/minggu.

Inisiatif ini diinisiasi oleh perempuan-perempuan desa Kapuk, dimulai dari perencanaan dan pelaksanaan pembangunan jamban para perempuan ikut ambil bagian secara aktif. Hal ini terjadi karena  para perempuanlah yang merasa dirugikan akibat perilaku BABS. Alasan lainnya  karena kaum laki-laki  sibuk bekerja mencari nafkah. Sumbangsih perempuan saat pembangunan jamban adalah dengan mencicil penggalian lubang untuk cubluk setiap harinya, sehingga saat pengocokan arisan pembangunan jamban sudah tidak terlalu berat lagi.

Masyarakat telah mendeklarasikan ODF yang dalam bahasa lokal "KAMI LAH BEBAS DARI BIRAK SEKAPUT" yang berarti kami sudah bebas dari perilaku buang air besar sembarangan di bulan November 2011 tepatnya pada peringatan Hari Kesehatan Nasional ke 47 Desa Kapuk telah mencapai ODF (desa Open Defacation Free)

Keunikan inovasi ini karena muncul dari masyarakat dengan proses pemberdayaan masyarakat, jamban yang dihasilkan adalah jamban keluarga bukan jamban umum sehingga keberlanjutan program sangat terjamin karena dengan ini masyarakat memiliki rasa kepemilikan yang tinggi dan dengan kesadaran yang kontinyu dan di tahap monitoring hingga saat ini tahun 2015 desa Kapuk masih ODF dan masyarakat mampu mempertahankan bahkan membudayakan perilaku buang air besar di jamban. (Penulis: Susilawati,S.KM, M.Kes & Korprov STBM Babel), (Editor: AH/UT Sekretariat STBM)

 

Comments