Mencapai Akses Universal Sanitasi artinya seluruh warga negara Indonesia berhak mendapatkan akses sanitasi yang layak, dimana pemerintah Indonesia menargetkan pencapaian ini di tahun 2019. Hak ini diharapkan paten sudah dimiliki oleh semua warga Indonesia tanpa terkecuali, termasuk penyandang disabilitas (PD).
Siapakah mereka? Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membahas mengenai Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) mendefinisikan bahwa penyandang disabilitas ialah sebagai orang yang memiliki keterbatasan jangka panjang baik secara fisik, mental, intelektual, atau sensorik yang dapat menghambat partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam masyarakat, untuk setara dengan warga lainnya. Berdasarkan data Riskesdas (2007) Jumlah warga disabilitas di Indonesia tidak sedikit, tercatat bahwa 11% masyarakat Indonesia merupakan penyandang disabilitas.
Orang yang memiliki keterbatasan sensorik seperti penglihatan atau pendengaran, keterbatasan fisik seperti lumpuh karena polio atau stroke, maupun keterbatasan intelektual seperti down-syndrome adalah penyandang disabilitas yang mengalami banyak kesulitan untuk mengakses dan menggunakan sanitasi yang layak.
Menurut pengakuan Nuning yang tidak bisa menekukkan kakinya karena polio menuturkan "Saya harus duduk di lantai di bagian depan jamban dan harus sangat hati-hati dengan lantai yang licin,". Risnawati Utami dari Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) mengatakan bahwa 80% penyandang disabilitas tinggal di perdesaan dan berasal dari keluarga miskin. "Mereka sering kesulitan mengakses jamban. Bila ada jamban pun sering ada di luar rumah dan tidak dilengkapi pegangan tangan atau dudukan untuk memudahkan mereka menggunakannya”, ujar Risna.
Untuk lebih memahami konteks terkait, penyandang disabilitas dalam sektor air minum dan sanitasi perdesaan, Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) dan PAMSIMAS kemarin menyelenggarakan pelatihan disabilitas pada tanggal 6 dan 7 Oktober 2016 di kedutaan Australia di Jakarta. Dalam kegiatan yang diikuti oleh 60 peserta ini, Heri Ferdian dari Plan Indonesia berbagi cerita tentang program STBM inklusif yang mereka lakukan. "Kami memicu masyarakat untuk mengembangkan teknologi sederhana untuk memudahkan penyandang disabilitas mengakses jamban, misalnya dengan membuat pegangan tangan (handrail) menuju jamban atau menambahkan bolongan pada kursi untuk memudahkan penyandang disabilitas yang tidak bisa jongkok pada saat melakukan BAB" ujar Heri.
Sebenarnya upaya untuk meningkatkan akses sanitasi bagi penyandang disabilitas tidak perlu dilakukan dengan merubah teknologi yang ada, "Cukup memberi tambahan atau memodifikasi fasilitas yang sudah ada, meskipun jika fasilitas yang dibuat dari awal sudah disesuaikan dengan kebutuhan mereka, biayanya akan lebih murah", ujar Briana, pelatih dari DFAT.
Terkait dengan kebutuhan, Risna mengingatkan agar penyelenggara program tidak datang ke penyandang disabilitas dengan pendekatan charity atau memberi bantuan. "Pemberian bantuan tidak mendidik, sebaiknya pengelola program berbicara dengan mereka untuk mengetahui kebutuhan dan kemampuannya". Tetapi bagaimana cara mencari dan berbicara dengan penyandang disabilitas? Tom, pelatih dari DFAT memberi tips, "jangan datang ke desa menanyakan apakah ada orang cacat, tapi tanyakan apakah ada orang yang memiliki kesulitan misalnya berjalan atau melihat?" Tom merekomendasikan alat bantu kuesioner yang dibuat oleh Washington Group for disability yang dapat diakses di: http://www.cdc.gov/nchs/washington_group/wg_questions.htm.
Di akhir pelatihan, Risna dan Nuning dari OPD menambahkan, "ajak mereka ikut musyawarah desa, jika mereka berhalangan, mungkin dari perwakilan desa atau masyarakat dapat berbicara kepada mereka sebelum membuat perencanaan desa". Penting bagi kita ketahui bersama bahwasanya pelibatan penyandang disabilitas dalam pembangunan merupakan hal yang penting dilakukan untuk dapat mencapai target akses universal sanitasi di Indonesia.
Penulis: Rahmi Kasri (WSP)/ Editor : Agustina Ruth (Sekretariat STBM Nasional)
Comments