Sebut saja namaku deasy, aku adalah seorang ibu rumah tangga yang juga seorang wanita karir. Sanitasi sudah menjadi bagian hidupku. Walapun tak pernah terjun secara langsung ke lapangan, tetapi tak sedikit pengalaman terkait sanitasi yang sudah aku dokumentasikan ke dalam berbagai bentuk pembelajaran. Mendengar cerita dari para pelaku, dan kemudian melihat hasil yang sudah bisa diraih membuatku merasa berbangga walaupun target belum sepenuhnya tercapai.
Dari sekian banyak isu yang diangkat, STBM menjadi salah satu isu yang sangat menarik perhatianku. Pendekatan STBM selama ini banyak dilakukan didaerah rural atau pedesaan. Dengan pendekatan STBM, masyarakat mau berubah bahkan membuat fasilitas sanitasinya dengan biayanya sendiri. Walaupun dengan penghasilan yang dirasa pas, tetapi keinginan mereka untuk menjadi lebih sehat ternyata bisa membuat mereka untuk menyusun kembali skala prioritas dalam hidup mereka.
Kembali ke kehidupanku Jakarta, akhir akhir ini karena kemacetan yang semakin parah, membuatku lebih memilih transportasi online roda dua sebagai moda transportasi untuk bekerja. Ternyata selain menjadi solusiku menghadapi kemacetan, pilihanku ini membuka mataku kepada sisi lain kehidupan di Jakarta. Motor melaju, melintasi jalan jalan alternatif yang tidak bisa dilalui oleh mobil. Melalui gang sempit di tengah permukiman yang cukup padat akhirnya menggugah pikiranku. Bagaimana dengan kehidupan mereka sehari hari?
Ditengah padatnya permukiman, dari mana mereka mendapat air bersih? Bagaimana mereka melakukan kegiatan buang air besarnya? Septitanknya? Apakah sumber air mereka terkontaminasi dengan limbah septitanknya? Lalu bagaimana air minumnya, air untuk mandi, mencuci, Tengkukku langsung bergidik ngeri.
Kemudian aku melihat seorang ibu memasak diluar karena sempitnya rumah, sehingga tidak memungkinkan untuk dibangun sebuah dapur bahkan mungkin kamar mandi. Ia mengambil air dengan gayung dari ember besar tinggi berwarna biru tanpa penutup untuk memasak, entah apapun bisa masuk kedalamnya. Got got disepanjang jalan kecil tersebut mampet, aku membayangkan tak perlu hujan deras untuk membuatnya banjir, dan dengan mudahnya air got pun masuk ke rumah. Tampaknya mereka tidak menyadari dampaknya bagi kesehatan, Kehidupan seperti itu nyata keberadaannya di kota sebesar Jakarta dibalik segala kemodernannya.
Aku langsung teringat dengan salah satu rekan kerja ku di kantor, dia selalu berusaha meyakinkan berbagai pihak bahwa STBM bisa dan perlu untuk dilakukan di perkotaan. Dengan kondisi yang aku liat dengan mata kepalaku sendiri, akupun mulai menyadari kebenaran ucapannya. Penyadaran untuk melakukan perubahan perilaku untuk hidup bersih dan sehat juga masih sangat dibutuhkan dikawasan urban atau perkotaan.
Akupun berandai andai, apabila masyarakat dipedesaan saja bisa dipicu dan dirubah pola pikirnya dengan STBM, bukan tidak mungkin masyarakat perkotaan bisa dipicu dengan cara yang sama. STBM dengan konsep pemberdayaan masyarakatnya, tinggal teknis dilapangan saja yang perlu dimodifikasi. Walaupun kemungkinan pelaksanaan nya bisa menjadi lebih rumit, karena karakteristik orang yang mendiami suatu daerah bisa lebih beragam karena perbedaan asal muasal.
Kita semua harus menyadari bahwa kesehatan merupakan investasi terbesar suatu negara. Karena itu, urban STBM sudah harus dilakukan sebagai upaya agar akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Teknologi yang murah dengan hasil yang layak juga sudah tersedia. Untuk masalah dana kini juga sudah mulai ada solusi, ada lembaga pembiayaan yang sudah mau melayani kredit untuk sanitasi. Yang penting adalah kesadaran dan kemauan masyarakat untuk mau berubah, inilah yang harus terus dibangun dan dipicu dengan urban STBM. Sehingga Jakarta dan kota kota lainnya diseluruh pelosok Indonesia menjadi lebih sehat.
Tentu perlu partisipasi aktif dari semua pihak didukung dengan komitmen yang kuat terutama dari para pemangku kepentingan. Memang ini bukan pekerjaan kecil. Ini adalah usaha besar dan berkesinambungan. Oleh karena itu, program Urban STBM harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu membantu mencapai target yang diinginkan. Target universal access 100 – 0 – 100 yang digadang gadangkan harus dicapai pada tahun 2019 oleh pemerintah pun, bisa jadi bukan lagi hanya sebuah mimpi, tetapi sesuatu yang bisa dicapai.
Pengirim : Deasy Sekar
Comments