Nak, Kapan Pak Dokter Mau Main-main Ke Rumah?

1Bu Domi seorang wanita paruh baya berusia 49 tahun. Suaminya adalah kepala dusun Tondong Galang, salah satu dari empat dusun yang ada di desa Compang Longgo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat. Ia memiliki empat orang anak (dua laki-laki, dua perempuan). Dua anak laki-lakinya tinggal bersama dengannya dan sudah putus sekolah. Anak perempuannya yang satu kuliah perhotelan  di Bali. Yang satunya lagi tinggal bersama seorang dokter di Bajawa, berkerja menjaga anak-anak si dokter sambil mengumpulkan duit untuk melanjutkan kuliah.

Di rumah Bu Domi tidak ada jamban dan kamar mandi. Untuk urusan buang hajat, Bu Domi sekeluarga biasanya menumpang di tetangga yang kebetulan adalah kerabat dekatnya. Namun sering kali juga Bu Domi sekelurga buang hajat di semak-semak di belakang rumahnya.“Tidak enak kalau minta pinjam wc terus”, kata Bu Domi memberikan alasan. Anak perempuannya yang kuliah di Bali sering kali protes. Katanya kalau libur kuliah, dia malas pulang kampong karena tidak nyaman tinggal di rumah. “Mau buang air besar tidak ada jamban. Mau mandi tidak ada kamar mandi”, gerutunya.Tapi Bu Domi punya alasan sendiri. “Kalau duit yang ada dipakai buat jamban dan kamar mandi, nanti uang makan setiap bulanmu mama ambil dari mana lagi?”. Dan anak perempuannya akan segera diam mendapat jawaban mematikan seperti itu.

19 Juli 2016, Bu Domi berkumpul bersama masyarakat dusun lainnya di halaman ketua RT 07. Sepengetahuan Bu Domi, kegiatan hari itu adalah kegiatan penyuluhan lingkungan dari tim kesehatan Kabupaten. Ternyata kegiatan tersebut adalah kegiatan pemicuan dalam rangka penerapan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Tim yang datang adalah tim Pokja AMPL (Air Minum dan Penyehatan Lingkungan) Kabupaten Manggarai Barat yang terdiri dari Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Lingkungan Hidup, Bappeda dan Yayasan Dian Desa.

Awalnya Bu Domi berpikir bahwa kedatangan orang-orang dari kabupaten ini adalah untuk membawakan bantuan jamban.Tapi ternyata tim ini datang untuk melakukan pemicuan. “Hanya omong-omong saja”, batin Bu Domi. Saat sesi demi sesi berjalan, bu Domi semakin merasa tidak nyaman. Ternyata yang diperbincangkan di dalam pemicuan tersebut adalah kebiasaan orang-orang dusun yang sering buat hajat di sembarang tempat. Yang paling menyentak perasaan bu Domi adalah saat si pemicu menyentil tentang rasa malu dari orang-orang yang tidak memiliki jamban.“ Bagaimana jika ada tamu yang datang dan mau buang air besar di rumah kita? JIka tidak mempunyai jamban, kita mau arahkan tamu itu untuk buang air besar ke mana?”.

Bu Domi tersentak. Ini persis ketika anaknya yang di Bajawa meneleponnya dan menyampaikan bahwa majikannya yang dokter ingin jalan-jalan ke Compang Longgo. Bu Domi keberatan karena rumahnya tidak punya jamban. 1001 alasan dia berikan agar si dokter batal berkunjung. Sekali dua kali dia berhasil. Namun si dokter ternyata ngotot ingin jalan-jalan ke Compang Longgo dengan alasan ingin refreshing ke desa. Dan terjadilah pada suatu siang si dokter dan keluarga kaget-kaget muncul dengan Innova putih di depan rumah Bu Domi. Bu Domi kalang-kabut. Yang paling ditakutinya akhirnya terjadi. Ketika anak si dokter minta kencing di jamban, Bu Domi dengan muka merah mengatakan bahwa rumahnya belum punya jamban. Akhirnya si kecil terpaksa kencing di halaman belakang rumah. Malamnya, Bu Domi menceritakan kejadian tersebut kepada suaminya. Pak Domi diam sesaat. Kemudian berkata “Pendidikan anak lebih penting dari jamban”. Diskusi pun selesai.

Namun saat pemicuan itu, Bu Domi merasa bahwa perasaan malu karena tidak punya jamban ini semakin menebal. Dia melihat ke arah suaminya yang juga mengikuti pemicuan itu. Dia bisa melihat rona kemerah-kemerahan karena malu pada wajah si suami. Sore harinya, Bu Domi mengatakan lagi kepada suaminya bahwa mereka harus membangun jamban. Pak Domi segera setuju. Mereka segera kontak anak perempuan yang ada di Bali. “Nak, bapak dan mama mau bikin jamban. Jangan marah ya uang makan muter paksa di pangkas bulan ini dan bulan depan”. Si anak bersorak kegirangan di ujung telepon dan tidak keberatan jika uang makannya dipotong.

Pak Domi segera mengumpulkan material. Yang makan biaya paling besar hanya pembuatan septik tank. Dia ingin agar jambannya tidak mengotori lingkungan. Bangunan jambannya sederhana dari halar bambu, namun diusahakan agar konstruksinya nyaman. Jamban selesai dalam waktu 4 hari.

Bu Domi kini bisa tersenyum. Saat Pak Putu, Babinkamtibmas Compang Longgo, datang bertamu siang itu Bu Domi dengan bangga memperlihatkan jambannya yang baru selesai dibangun kemarin. Dan saat Pak Putu memuji jambannya itu sebagai jamban sederhana yang bersih dan nyaman, senyum Bu Domi merekah lebih lebar. Senyum selebar itu sangat jarang dia lemparkan kepada tamu yang datang ke rumahnya, setidak-tidaknya sampai jambannya selesai dibangun.

Malamnya, Bu Domi mengirim pesan singkat ke anaknya yang di Bajawa, “Nak, kapan Bapak dan Ibu Dokter mau main-main ke sini lagi?”

Comments