Salah satu perbedaan utama program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat kali ini adalah munculnya Tim Teknis Kabupaten (TTK). Tim ini, sesuai dengan namanya, terdiri atas berbagai SKPD yang ada di Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, yakni Dinas Kesehatan, Bappeda dan BPMPD. Mereka inilah yang membawa nama kabupaten dalam menangani berbagai hal teknis terkait STBM di lapangan. Kegiatan yang sebelumnya dilakukan langsung YMP seperti memfasilitasi pelatihan baseline survei, hingga pemantauan ke puskesmas, kecamatan dan desa, kini menjadi “santapan” rutin mereka.
Lalu Saruji Ahmad atau Mamik Uji, yang memimpin tim ujung tombak kabupaten untuk STBM ini. Bagi Mamik Uji sendiri, STBM sudah bukan hal baru. Sewaktu STBM mulai diperdengarkan di Lombok Timur melalui SHAW beberapa tahun lalu, Mamik Uji sudah terlibat, meski selintas pintas. Menurutnya, selama periode SHAW lalu, keterlibatannya hanya sebatas ketika diundang kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka SHAW. Selebihnya, ia tidak terlibat.
“Yang saya rasakan (awalnya) saya tidak begitu banyak paham dengan SHAW. Keterlibatan saya hanya sebatas kalau ada acara, diundang. Tidak ada keterlibatan langsung, karena seingat saya, di SHAW itu yang lebih banyak terlibat langsung itu teman-teman Puskesmas, sanitarian dan desa sehingga kami kadang-kadang hanya dapat informasi kegiatan. Dan di Kabupaten, Kabupaten tidak sepenuhnya tahu kegiatan YMP, hanya ketika ada undangan.”
Situasi yang dirasakan saat itu, menurutnya, sangat berbeda dengan apa yang dialaminya melalui Program SEHATI. Semenjak Program SEHATI langsung di bawah koordinasi Seksi Kesehatan Lingkungan, Mamik Uji selaku ketua seksi langsung terdampak dengan diangkatnya ia sebagai koordinator Tim Teknis Kabupaten.
“Sekarang, sangat berbeda. Justru sekarang, program SEHATI melimpahkan semua rencana kegiatan apa yang akan kita lakukan itu khususnya di TTK ini,”Ungkap Mamik Uji dengan bersemangat.
Berbagai pelatihan yang diterima para anggota tim lambat laun mulai mengubah para ujung tombak STBM dari kabupaten ini. Peran dan tanggung jawab Tim Teknis Kecamatan di antaranya memang melakukan advokasi isu STBM ke kecamatan. Hal ini mendorong mereka harus berinteraksi dengan para pejabat eselon di kecamatan, juga puskesmas. Inilah yang mendorong salah satu perubahan nyata bagi Mamik Uji, keberanian dan rasa percaya diri untuk berbicara di depan forum, termasuk di hadapan para pejabat eselon seperti Camat, kepala puskesmas hingga kepala dinas.
Peningkatan rasa percaya diri ini juga dialami anggota timnya, seperti Ramzul Ain, Hesti, dan Herry Siswandi, yang notabene staf non eselon. Bukan hanya itu. Secara umum, mereka mengakui bentuk interaksi antara para anggota tim (yang mayoritas staf non eselon) dengan pejabat struktural seperti camat, dan kepala puskesmas, menjadi lebih cair dan luwes, tidak kaku dan prosedural. Hirarki jabatan yang menjadi karakter birokrat awalnya memang menimbulkan keragu-raguan di antara tim. Saat mulai ditarik sebagai anggota tim, Ain mengaku sempat gamang.
“Masak sih kapus dan Camat harus kita berikan pelatihan? Kan bukan level kita,” Ain mengulang keraguannya saat itu. Hesti, yang duduk di sebelahnya menambahkan sambil tertawa, “Dia (Ramzul Ain) sampai mengusulkan untuk nggak pake seragam (saat bertugas sebagai fasilitator untuk kepala puskesmas dan camat).”Ain menimpalinya dengan tergelak. Interaksi yang lebih cair antar staf dan pejabat eselon juga terjalin di internal tim sendiri. Herry Siswandi atau Andi, mengakui semenjak ia terlibat dalam TTK interaksinya dengan Mamik Uji yang atasannya langsung di Kesling sejak 2013 – kini, tidak lagi canggung. Sebagaimana atasannya, Andi yang selama ini banyak di belakang meja, merasa percaya dirinya meningkat seiring berkembangnya wawasan sebagai fasilitator. Demikian pula Hesti. Bahkan, Hesti baru mengenal STBM sejak terlibat SEHATI.
Pasca ditunjuk sebagai anggota TTK dan mendapat berbagai pelatihan, para fasilitator ini lantas mempraktikkannya di berbagai pertemuan baik tingkat kecamatan, desa, maupun puskesmas. Kemampuan memfasilitasi ini diakui mereka memang penting dan untuk meningkatkannya perlu dilatih dan dikembangkan. Untungnya mereka mulai dilibatkan sebagai fasilitator dalam pertemuan program MCAI dan Pamsimas (dua program yang baru masuk di Lombok Timur pada pertengahan 2016 lalu) sehingga pengalaman tersebut terus mengasahnya. Saat ini, meski mereka mengaku relatif baru sebagai fasilitator, namun wawasan mereka mulai berkembang. Mamik Uji misalnya, mulai mengkritisi kehadiran masyarakat dalam pertemuan-pertemuan sosialisasi yang menurutnya belum mewakili semua unsur. “Seharusnya yang hadir bukan hanya mereka yang berpengaruh, tapi juga mereka yang “bermasalah” sehingga akar masalahnya bisa diketahui dan mendapat penyelesaian yang tepat,” tukasnya.
Agar dapat meningkatkan peran TTK sebagai fasilitator, Mamik Uji merasa masih perlu meningkatkan beberapa hal yang mendukung kapasitas seorang fasilitator seperti pengetahuan dan keterampilan menggali masalah serta menganalisisnya, teknik memotivasi, hingga penggunaan media.
“Sehingga, sanitasi bisa menjadi buah bibir di masyarakat,” harapnya.(YMP NTB/Putri)
Comments