Wayan Debot, Kelian Dinas (Kepala Lingkungan) Banjar Bukian, Memfungsikan PERAREM dalam mempercepat Perubahan Perilaku.

Pada tahun 2000
masyarakat Banjar Bukian (Banjar sebutan dusun adat di Bali) secara swadaya membangun saluran irigasi subak. Adanya saluran irigasi ini justru dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan meju (BAB) di saluran tersebut. Sebelumnya perangkat adat maupun Banjar tidak mengenal istilah ODF. Mereka hanya tahu bahwa di lingkungannya memiliki permasalahan pada adat setempat, yaitu masyarakat senang BAB di saluran irigasi. Sementara saluran tersebut dipergunakan banyak orang untuk melakukan kegiatan lain seperti mandi dan cuci piring. Air dari saluran irigasi tersebut juga digunakan untuk mengairi sawah.
Masyarakat Bali percaya bahwa sawah merupakan salah satu tempat keramat. Disana juga dibangun Pura untuk sembahyang. Maka jika saluran irigasi ini terus menerus dikotori airnya, kekeramatannya akan semakin tidak dipercayai oleh masyarakat.
Dari permasalahan tersebut timbul gagasan dari seluruh Prajuru (perangkat Banjar) mengadakan Paruman (diskusi/rapat pengurus) untuk mengatasi permasalahan di atas, terutama untuk menyadarkan masyarakat agar stop BAB di saluran irigasi. Setelah ada kesepakan dari semua Prajuru, maka masyarakat diundang rapat umum/rapat musyawarah mufakat dalam forum sangkepan –pertemuan rutin warga dan Prajuru. Pada saat itulah disusun Pararem (hukum/aturan adat) untuk stop BAB di saluran irigasi yang kemudian meluas untuk tidak BAB sembarangan di seluruh areal Banjar. Aturan ini memang belum tertulis tetapi disepakati dan terus dijalankan oleh masyarakat sampai saat ini.
Pada tahun 2012, dilakukan verifikasi pertama oleh petugas sanitarian, LSM, Prajuru, mahasiswa Poltekkes jurusan Kesehatan Lingkungan. Teridentifikasi dari total 199 KK, sebanyak 13 KK masih melakukan praktek BAB sembarangan dan sangat sulit untuk mengubah perilakunya. Alasan mereka melakukan praktek tersebut adalah karena belum memiliki jamban, sehingga BAB dilakukan sembunyi-sembunyi di saluran irigasi.
Atas inisiatif Wayan Debot, masyarakat dan Prajuru, pada tahun 2013 diundanglah LSM dan CSR swasta untuk membantu mendorong serta memotivasi perubahan perilaku 13 KK yang masih belum memiliki jamban. Sebagai dampak kegiatan yang berkesinambungan mulai dari pemicuan, promosi dan membina hubungan baik dengan masyarakat Banjar Bukian, maka ke 13 KK tersebut menjadi sadar atas perilakunya yang merugikan orang lain dan melanggar aturan adat. Mereka berusaha membuat jamban sehat dan sampai saat ini mereka tetap menjaga kebersihan lingkungan khususnya BAB di jamban sehat.

Verifikasi kembali dilakukan pada tahun 2013 akhir dengan melibatkan Dinkes, masyarakat dan LSM. Hasilnya seluruh masyarakat Banjar Bukian sudah tidak ada yang BAB sembarangan lagi. Hal ini membangkitkan keberanian Wayan Debot dan masyarakat Banjar Bukian untuk mendeklarasikan Banjar ODF pada tanggal 17 Januari 2014 yang dihadiri oleh Ketua DPRD Kabupaten Badung.
Sampai sekarang sudah 2 Banjar yang mendeklarasikan ODF, yaitu Banjar Bukian dan Banjar Kiadan. Diharapakan upaya Wayan Debot dan para Prajuru dalam memfungsikan Pararem dapat mendorong Banjar-banjar lain sehingga seluruh wilayah desa dinas menjadi daerah yang bebas dari Buang Air Besar Sembarangan.
Perarem saja tidak cukup. Wayan Debot sebagai Klian Dinas Banjar Bukian berharap STBM dan upaya meng-ODF kan desa adat memerlukan payung hukum berupa Surat Edaran dari Dinkes atau SK/Perbup/Perda agar upaya merubah perilaku masyarakat semakin kuat.
< Ditulis: Wendy Sarasdyani/ Wida Indrayanti >
Comments