"Community Heroes" Desa Maranti Parimo

Bu SuryaIbu Suryaningsih: "Sehat itu dimulai dari Stop BABS"

"Tidak pernah saya sangka bahwa masyarakat di Desa Maranti bisa 100% Stop Buang Air Besar Sembarangan, rasanya masih seperti mimpi….."

Matanya menerawang mengingat bagaimana awalnya beliau memulai pemicuan di desa bersama rekannya Pak Daeng. Tangannya menyeka air mata yang mengalir di kedua pipinya. Suaranya tertahan menahan tangis haru, "Saya bangga, saya bangga sekali. Awalnya saya tidak yakin akan bisa mencapai 100% masyarakat BAB di jamban, tapi setelah verifikasi dan bahkan kemarin deklarasi dihadiri langsung oleh Pak Wakil Bupati di desa kami yang kecil ini….. saya bangga sekali". Dia berhenti kembali menahan haru. Kali ini matanya lebih cerah dan mulai tersenyum.

Inilah Ibu Suryaningsih, yang oleh masyarakat di Desa Maranti dikenal sebagai Ibu Surya Tai, karena beliau selalu menanyakan kepada warga desanya tentang jamban, perilaku buang air besar dan mengecek keberadaan tinja di sekitar rumah orang-orang yang didatanginya di Desa Maranti.

Desa Maranti adalah desa yang yang terletak di kaki gunung, di Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. "Desa kami ini desa yang terpencil, desa yang paling ujung, jalannya bergelombang, berbatu-batu dan rusak. Jauh dari kota, di kaki gunung. Kami adalah masyarakat yang sangat sederhana. Masyarakat sudah biasa buang air besar di saluran irigasi, di kebun dan di semak-semak….memang seperti itulah dari dulu", Bu Surya menggambarkan Desa Maranti dan kebiasaan masyarakat yang hidup di sana.

Pada tanggal 21 Mei 2015 yang lalu, Desa Maranti Kecamatan Mepanga melakukan deklarasi Desa Stop Buang Air Besar Sembarangan. Pemicuan pertama kali dilakukan pada bulan Juli 2014 setelah Bu Surya dan Pak Daeng dipilih oleh Kepala Desa untuk dilatih tentang fasilitator STBM oleh Wahana Visi Indonesia. Ketika dilakukan pemicuan, hanya ada 16 KK (8%) warga desa yang memiliki dan BAB di jamban yang tersebar di 4 dusun Desa Maranti. Awalnya pemicuan hanya dilakukan di Dusun I dan Dusun II, namun masyarakat desa sepakat seluruh dusun harus dilakukan pemicuan dan hal ini mendorong Kepala Desa mengeluarkan peraturan desa tentang Stop BABS dan sanksi bagi warga yang masih BABS. Pada bulan April 2015 atau sekitar 8 bulan kemudian, ketika tim verifikasi SBS turun, total 192 KK (100%) masyarakat sudah BAB di jamban sederhana dan WC. Hal ini bisa terjadi karena perjuangan yang dilakukan tanpa henti oleh Bu Surya, Pak Daeng dan perangkat desa setempat.

"Setiap saat saya sempatkan melakukan monitoring. Misalnya pagi-pagi ketika saya berangkat ke sekolah untuk mengajar di PAUD, saya usahakan berangkat lebih pagi supaya saya bisa mampir ke rumah beberapa warga di dusun saya sampai ke dusun PAUD tempat saya mengajar, untuk menanyakan apakah mereka sudah membangun jamban dan kemana mereka BAB hari itu", Bu Surya tersenyum, lebih lanjut menceritakan bahwa biasanya beliau akan langsung menuju ke belakang rumah untuk melihat apakah di rumah tersebut sudah ada jamban atau tidak. "Biar saja mereka bosan saya tanyai dan datangi terus……" ucapnya sambil tersenyum malu-malu. "Ini demi kesehatan kita bersama, demi kesehatan semua warga, sehat itu mulai dari Stop Buang Air Besar Sembarangan", tambahnya lagi. "Setelah membangun jamban, toh pada akhirnya mereka mengakui juga bahwa merekalah yang senang, bukan saya".

Ia bercerita bahwa ada beberapa warga yang setelah membangun jamban di rumahnya, mendatangi Bu Surya dan mengatakan bahwa memang rasanya lebih aman punya jamban sendiri di rumah. Seorang tetangga di dusunnya juga bercerita bahwa suatu ketika dia sakit perut, tidak perlu khawatir harus pergi jauh-jauh ke sungai.

"Apakah saya yang senang? Tidak, Bukan saya yang senang. Yang membangun jambanlah yang senang. Karena tidak perlu pergi jauh-jauh ke sungai atau bawa-bawa cangkul dan gali-gali dulu kalau sakit perut, dan tidak perlu khawatir harus mengantar anak ke sungai kalau anak mau berak. Anak-anak balita sudah bisa berak sendiri di jamban di rumah, tidak perlu harus diantar jauh-jauh ke sungai dan tidak perlu merasa khawatir anak sendirian karena bisa diawasi di rumah…." Tuturnya bersemangat sambil sesekali mengelus perutnya. Ibu Surya sedang menunggu kelahiran anaknya yang ketiga, saat ini kandungannya berusia 8 bulan.

Selain aktif sebagai pengajar di PAUD, Bu Surya juga sangat aktif bermasyarakat dan menaruh perhatian pada isu-isu kesehatan lingkungan serta anak-anak. Beliau juga mendampingi kelompok belajar anak dengan Wahana Visi Indonesia, tempat anak-anak mengembangkan keterampilan menari, drama dan kesenian lainnya. "Anak-anak harus berkembang dan aktif…. Saya selalu mendorong mereka supaya aktif, berani berbicara dan berani tampil. Karena anak-anak inilah pemimpin-pemimpin di masa depan, jadi mereka harus berlatih berani dari sekarang."

Tidak sedikit tantangan yang dihadapi oleh Bu Surya ketika menghadapi respon anggota masyarakat yang tidak mau berubah, misalnya yang menolak membangun jamban karena tidak punya waktu atau tidak punya uang. Kami tidak pernah memaksa, tetapi kami sudah pernah kehilangan akal karena ada 2KK di dusun kami yang tidak mau membangun jamban.

"Saya dan Pak Daeng kehilangan akal. Kepala Desa juga sudah menyerah karena mereka tidak bersedia membangun WC. Akhirnya saya bercerita ke Ibu Lily, staf WVI, untuk meminta bantuan solusi. Ibu Lily menghubungi Puskesmas dan Pak Ngakan, Kaur Kesra Kecamatan. Pak Ngakan datang ke desa kami dan mengunjungi keluarga tersebut. Beliau mengatakan akan membantu keluarga tersebut membangun jamban, dan berniat membuka sepatu dan baju dinasnya untuk menggali lobang membuatkan WC…. Tuan rumahnya sungkan, dan akhirnya berjanji akan membangun WC. Besoknya, sehari penuh keluarga tersebut membangun jamban sampai selesai. Tiga hari kemudian, Pak Ngakan datang lagi ke sana, dan memang keluarga itu akhirnya membangun WC dan menggunakannya.".

Beliau yakin bahwa pasti ada jalan keluar dari setiap kesulitan yang dihadapi. Masyarakat bahkan mempunyai jalan keluar dan cara-cara sendiri untuk membangun jamban sehat dengan biaya semurah mungkin. Segala kesulitan yang dihadapi selama ini tidak ada apa-apanya, kesehatan yang akan dicapai setelahnya jauh lebih berharga.

Pak Daeng

Bapak Daeng Gawin: "Fasilitator STBM sama dengan pelatih sepak bola"

Bapak berumur 47 tahun ini merasa beruntung ikut pelatihan fasilitator STBM yang diadakan di Puskesmas Kecamatan Mepanga oleh WVI bersama tenaga kesehatan Mepanga. Pak Daeng, yang sehari-harinya sibuk bertani dan menorah karet, pada suatu hari di bulan Juni 2014 diminta oleh Kepala Desa Maranti untuk ikut pelatihan fasilitator STBM. Beliau merasa enggan untuk ikut, karena waktunya lebih baik digunakan untuk bekerja dan menambah penghasilan keluarga.

Namun karena didesak oleh Kepala Desa supaya ikut pelatihan, akhirnya Pak Daeng ikut juga. Semenjak itu, beliau tidak pernah menyesali keputusan tersebut karena justru saat itulah beliau merasa mendapat pencerahan. Pak Daeng mengaku ikut terpicu saat pelatihan juga. Beliau akhirnya mencari-cari cara untuk membangun WC yang murah dan sederhana, dan membangunnya sendiri di rumah. Itu memberinya rasa puas dan bangga. Setelah itu beliau semakin gencar melakukan pemicuan di masyarakat. Beliau juga bisa bercerita langsung kepada tetangga dan warga di dusunnya tentang perubahan yang sudah beliau alami setelah menggunakan WC di rumah.

"Menjadi fasilitator di desa itu tidak ada duitnya…. Saya menyadari itu. Namun ketika saya melihat ada perubahan di masyarakat setelah pemicuan, melihat langsung ada orang-orang yang tadinya BABS menjadi stop BABS dan membangun WC sendiri. Wah, saya menjadi sangat senang…", beliau tersenyum sambil menepuk-nepuk dada. "Biarlah menjadi fasilitator tidak ada uangnya, tapi saya dapat ilmu yang tidak hilang. Inilah sumbangan dan pengabdian saya untuk masyarakat….", ungkapnya di sela-sela kesibukan berbenah kursi-kursi setelah perayaan deklarasi SBS Desa Maranti selesai.

Perubahan cara pandang dan tujuan hidup adalah hal mendasar yang dialami oleh Pak Daeng sejak menjadi fasilitator STBM. Beliau harus keluar dari zona nyaman karena harus memaksa diri untuk berbicara di depan umum, memperhatikan orang lain, dan terus belajar membuat sesuatu lebih baik. "Memenangkan hati masyarakat itu ada seninya", kata beliau. "Saya dan Bu Surya sering ditolak oleh orang-orang yang tidak mau membangun WC. Walapun orang lain mungkin sudah menyerah, saya tidak. Kalau ada orang yang belum mau berubah, ya tidak apa-apa. Fokus saja dulu pada warga yang mau berubah…. Sambil terus mencari cara pendekatan yang lain, toh lama-lama juga orang tersebut akan berubah sendiri karena malu pada orang-orang di sekitarnya yang sudah berubah duluan….".

"WVI tidak memberikan bantuan 1 sak semen pun. Tapi bagi saya, ibarat bermain bola, WVI memberikan saya kesempatan belajar taktik bermain bola….. saya menjadi tahu bagaimana caranya menggugah hati masyarakat dan itu jauh lebih berharga….".

Lalu beliau menambahkan, "apalagi tanpa bantuan pun masyarakat mampu kok membangun WC dengan sumber daya yang ada. Bisa dicek WC-WC di sini, bermacam-macam modelnya.... itu artinya masyarakat juga menjadi lebih kreatif…", katanya sambil tertawa. "Ada yang berpondasi tinggi, berpondasi rendah, ada yang langsung menempel di tanah, ada yang berbahan dasar kayu, cetakan semen, dari modifikasi kaleng, corong minyak, dll. Tidak bau, karena semuanya dialirkan ke lubang resapan pakai pipa dan semua pakai lubang udara walaupun tidak semua pakai pipa, karena potongan bamboo juga bisa dijadikan sebagai lubang udara". Dan memang ketika dilakukan pengecekan ke beberapa rumah, terdapat beragam model WC seperti yang Pak Daeng ungkapkan.

maranti3

Seperti terlihat pada foto Kepala Desa Maranti, Bapak Maarif menunjukkan WC kreatif buatan warga yang menggunakan corong plastic sederhana disambung dengan pipa. WC ini tidak menimbulkan bau, di bagian bawah corong ada tampungan air seperti pada WC leher angsa. Biaya yang dikeluarkan warga Rp 15.000,- untuk jenis WC ini karena bahan lainnya menggunakan sumber daya lokal.

Wahana Visi Indonesia kantor operasional Parimo melakukan program pemberdayaan masyarakat dalam bidang sanitasi dengan strategi dan pendekatan STBM sejak tahun 2014 di Parimo. Target program ini adalah 10 desa yang berada di Kecamatan Mepanga dan Tomini. Dari total 26 desa di kedua kecamatan tersebut, Desa Maranti yang terletak di Kecamatan Mepanga, adalah desa pertama yang 100% masyarakatnya sudah BAB di WC dan mendeklarasikan diri sebagai Desa Stop Buang Air Besar Sembarangan. WVI bersama dengan Dinas Kesehatan, Pokja AMPL dan pemerintah setempat juga bersinergi menyusun strategi percepatan STBM di Kabupaten Parimo dalam rangka mencapai target Universal Akses 2019. (by : Mita Sirait-WVI Editor : AH/KM Sekr. STBM)

Maranti1

 

Comments